Pada waktu Gunungkidul masih merupakan hutan belantara belum banyak di huni orang, di sebuah desa yang bernama Pongangan sudah dihuni beberapa orang dari Majapahit. Permukaan kelompok dari pelarian itu bernama Raden Dewa Katong yang masih bersaudara dengan Raja Brawijaya. Di desa tersebut Dewa Katong bertapa dengan maksud agar anak cucunya kelak dapat menjadi orang terkemuka serta dapat memegang tampuk pemerintahan. Setelah cukup lama Dewa Katong bertapa, ia memperoleh wangsit bahwa permintaannya dikabulkan oleh dewa. kemudian Dewa Katong pindah kehutan di sebelah utara Desa Pongangan,10 km dari tempat pertapaannya. ia bertempat tinggal di daerah tersebut sampai meninggalnya. oleh karena itu desa tersebut dinamakan Desa Katongan.
Sepeninggalan ayahnya, anaknya yang bernama Raden Suromejo giat membangun Desa Pongangan sehingga lama kelamaan desa tersebut menjadi semakin ramai dan banyak dihuni orang. setelah daerah tersebut banyak dihuni orang, maka Suromejo berpindah tempat tinggalnya mengambil tempat di bawah poho maja yang tumbuh di dekat batu karang dan sampai sekarang desa tersebut dinamakan Desa Karangmojo.
Lama kelamaan Desa Karangmojo makin padat penduduknya. perkembangan penduduk di daerah Gunungkidul yang semakin padat itu didengar olah raja Mataram, sunan Amangkurat Amral yang berkedudukan di Kartosuro. Kemudian raja mengutus Senopati Ki Tumenggung Prawirorekso agar membuktikan kebenaran berita tentang adanya orang orang pelarian dari Majapahit. setelah terbukti yang bernama Ki Suromejo, maka Tumenggung Pawiropekso menasehati apabila Ki Suromejo ingin bertempat tinggal di desa ini hendaknya minta izin dulu dengan rajka Mataram, karena daerah ini termasuk wilayah kekuasaan Mataram.
Ki Suromejo tidak mu minta ijin kearena tidak ada dasar dasar yang menentukan bahwa pulau jawa itu milik Raja Kartosuro, tetapi terjadinya dari Tuhan sendiri dan disediakan kepada setiap manusia yang mau menghuninya. Terjadilah perselisihan pendapat antara Tumenggung Pawiropekso dari Kartosuro dengan Ki Suromejo dari karangmojo. Pertempuran pun terjadi, tetapi oleh karena tentara Ki Suromejo jauh lebih kecil maka mereka dapat di lumpuhkan.
Ki Suromejo mempunyai 4 orang putera yaitu : Ki Mintowijoyo, Ki Poncobenawi, Ki Poncosedewo (menantu) dan terakhir Ki Pontjodirdjo. keempat bersaudara ini dalm perang Mangkubumen dapat ditaklukan oleh Pangeran Sambernyowo. Ki Mintowijoyo, Ki Poncobenawi serta Ki Poncosedewo mati terbunuh. Berhubung ketiga saudaranya telah mati maka Ki Pontjodirdjo takluk dan oleh Pangeran Sambernyawa di angkat menjadi Bupati Gunungkidul yang pertama.
Bupati Mas Tumenggung Pontjodirdjo tidak lama menjabat karena dengan adanya penentuan batas-bats daerah Gunungkidul antara Sultan dan Mangkunegaran II pada tanggal 13 Mei 1831, maka Gunugkidul pada saat itu (dikurangi Ngawen sebagai daerah enclave Mangkunegaran) telah menjadi daerah kabupaten.
Mas Tumenggung Ponjodirdjo sebagai Bupati Pertama Gunungkidul yang mengangkat adalah Pangeran Sambernyawa dan selanjutnya setelah Gunungkidul resmi menjadi kabupaten di bawah kekuasaan Kasultanan Yogyakarta bernama Mas Tumenggung Prawirosetiko sebagai Bupati kedua mengalihkan kedudukan kota kabupaten dari Ponjong ke Wonosari. Wonosari yang dipilih oleh Tumengung Pawirosetiko sebagai ibukota kabupaten Gunungkidul menurut Cerita-cerita rakyat yang dihimpun oleh KRT. Kutho Wonosari , telah ada dan di buka oleh seorang Demang Piyaman bernama Wonopawiro. oleh karena Demang Wonopawiro berjasa membuka hutan Nongko Doyong kemudian diangkat menjadi sesepuh Demang dari beberapa Demang yang ada, dan berkedudukan di Piyaman sampai akhir hayatnay.
Selain itu yang memperkuat eksistensi Gunungkidul adalah pertapaan Kembang Lampir. Kembang Lampir adalah suatu tempat yang terletak didaerah Kelurahan Girisekar Kecamatan Panggang Kabupaten Gunungkidul, dahulu kala adalah tempat bertapa bersemedi Ki Ageng Pemanahan. Ki Ageng Pemanahan bertapa dengan maksud ingin memperoleh Wahyu Kraton agar dia dapat menurunkan raja-raja di Jawa.
Pda waktu semedi memperoleh wangsit bahwa ia akan mendapatkan wahyu gagak emprit bertempat disebuah ranting yang lapuk. Ranting didekati, Wahyu Gagak Emprit gaib dan muncul Sunan Kalijaga. Ki Ageng Pemanahan diberitahu oleh Sunan Kalijaga bahwa wahyu kraton sebenarnya berada di Giring (Desa Sodo,Paliyan) kalau Ki Ageng Pemanahan ingin mendapatkan wahyu tersebut harus segera pergi ke Giring.
Untuk mempercepat perjalanannya. Ki Ageng Pemanahan dilemparkan(dalam bahasa jawa "dikipatke") oleh Sunan Kalijaga dengan harapan agar jatuh di Giring , tetapi Ki Ageng Pemanahan jatuh di suati tuk Umbul lalu meloncat dan jatuh di Desa Mulusan. kemudian Ki Ageng Pemanahan meneruskan perjalanan ke Giring dengan harapan segera mendapatkan wahyu kraton, yang berada di rumah Ki Ageng Giring.
Karena perjalanan jauh dan di bawah terik matahari, Ki Ageng Pemanahan merasa haus dan secara kebetulan di rumah Ki Ageng Giring terdapat degan (kelapa muda ),maka tanpa menanti kedatangan Ki Ageng Giring yang pada saat itu sedang jamas di sungai, wahyu kraton yang di maksudkan Sunan Kalijaga tersebut juga berada pada kelapa muda itu dan bernama "Wahyu Poncopurbo". setelah Ki Ageng Giring pulang dari jamas , sangat terkejut karena kelapa muda yang sedianya diminum sehabis jamas telah habis diminum oleh Ki Ageng Pemanahan, dan terjadilah perselisihan pendapat namun akhirnya disadari oleh Ki Ageng Giring bahwa yang di takdirkan dapat menurunkan wahyu raja-raja adalah Ki Ageng Pemanahan.
Keduanya lalu bersepakat pergi menuju ke tempat Ki Ageng Butuh, dan dalam perjalanan terjadi dialog antara Ki Ageng Giring dengan Ki Ageng Pemanahan tentang wahyu yang dapat menurunkan raja-raja. Ki Ageng Giring menghendaki agar keturunan pertama beralih kepadanya, tetapi Ki Ageng Pemanahan tidak memberi jawaban, sampai pada keturunan ketujuh Ki Ageng Pemanahan baru berhenti. Sebagai peringatan terjadinya dialog mereka berdua, Ki Ageng Giring membuat prasasti berujud 7 (tujuh) buah batu nisan dibuat di Koripan (sebelah selatan Patuk Gunungkidul).
Selanjutnya apabila dihubungkan antara Ki Ageng Pemanahan yang memperoleh wahyu dapat menurunkan raja-raja di Jawa dengan eksistensi Kabupaten Gunungkidul, maka dalam sejarah telah menunjukan bukti-bukti bahwa yang mengangkat dan memberhentikan Bupati Gunungkidul adalah Raja Yogyakarta (dalam hal ini Ngarso Dalem Sampeyan Dalem Ingkang Sinuwun Kanjeng Sultan Ngayogyakarta). Raja-raja mataram dan Yogyakarta adalah keturunan dari Ki Ageng Pemanahan.
Lama kelamaan Desa Karangmojo makin padat penduduknya. perkembangan penduduk di daerah Gunungkidul yang semakin padat itu didengar olah raja Mataram, sunan Amangkurat Amral yang berkedudukan di Kartosuro. Kemudian raja mengutus Senopati Ki Tumenggung Prawirorekso agar membuktikan kebenaran berita tentang adanya orang orang pelarian dari Majapahit. setelah terbukti yang bernama Ki Suromejo, maka Tumenggung Pawiropekso menasehati apabila Ki Suromejo ingin bertempat tinggal di desa ini hendaknya minta izin dulu dengan rajka Mataram, karena daerah ini termasuk wilayah kekuasaan Mataram.
Ki Suromejo tidak mu minta ijin kearena tidak ada dasar dasar yang menentukan bahwa pulau jawa itu milik Raja Kartosuro, tetapi terjadinya dari Tuhan sendiri dan disediakan kepada setiap manusia yang mau menghuninya. Terjadilah perselisihan pendapat antara Tumenggung Pawiropekso dari Kartosuro dengan Ki Suromejo dari karangmojo. Pertempuran pun terjadi, tetapi oleh karena tentara Ki Suromejo jauh lebih kecil maka mereka dapat di lumpuhkan.
Ki Suromejo mempunyai 4 orang putera yaitu : Ki Mintowijoyo, Ki Poncobenawi, Ki Poncosedewo (menantu) dan terakhir Ki Pontjodirdjo. keempat bersaudara ini dalm perang Mangkubumen dapat ditaklukan oleh Pangeran Sambernyowo. Ki Mintowijoyo, Ki Poncobenawi serta Ki Poncosedewo mati terbunuh. Berhubung ketiga saudaranya telah mati maka Ki Pontjodirdjo takluk dan oleh Pangeran Sambernyawa di angkat menjadi Bupati Gunungkidul yang pertama.
Bupati Mas Tumenggung Pontjodirdjo tidak lama menjabat karena dengan adanya penentuan batas-bats daerah Gunungkidul antara Sultan dan Mangkunegaran II pada tanggal 13 Mei 1831, maka Gunugkidul pada saat itu (dikurangi Ngawen sebagai daerah enclave Mangkunegaran) telah menjadi daerah kabupaten.
Mas Tumenggung Ponjodirdjo sebagai Bupati Pertama Gunungkidul yang mengangkat adalah Pangeran Sambernyawa dan selanjutnya setelah Gunungkidul resmi menjadi kabupaten di bawah kekuasaan Kasultanan Yogyakarta bernama Mas Tumenggung Prawirosetiko sebagai Bupati kedua mengalihkan kedudukan kota kabupaten dari Ponjong ke Wonosari. Wonosari yang dipilih oleh Tumengung Pawirosetiko sebagai ibukota kabupaten Gunungkidul menurut Cerita-cerita rakyat yang dihimpun oleh KRT. Kutho Wonosari , telah ada dan di buka oleh seorang Demang Piyaman bernama Wonopawiro. oleh karena Demang Wonopawiro berjasa membuka hutan Nongko Doyong kemudian diangkat menjadi sesepuh Demang dari beberapa Demang yang ada, dan berkedudukan di Piyaman sampai akhir hayatnay.
Selain itu yang memperkuat eksistensi Gunungkidul adalah pertapaan Kembang Lampir. Kembang Lampir adalah suatu tempat yang terletak didaerah Kelurahan Girisekar Kecamatan Panggang Kabupaten Gunungkidul, dahulu kala adalah tempat bertapa bersemedi Ki Ageng Pemanahan. Ki Ageng Pemanahan bertapa dengan maksud ingin memperoleh Wahyu Kraton agar dia dapat menurunkan raja-raja di Jawa.
Pda waktu semedi memperoleh wangsit bahwa ia akan mendapatkan wahyu gagak emprit bertempat disebuah ranting yang lapuk. Ranting didekati, Wahyu Gagak Emprit gaib dan muncul Sunan Kalijaga. Ki Ageng Pemanahan diberitahu oleh Sunan Kalijaga bahwa wahyu kraton sebenarnya berada di Giring (Desa Sodo,Paliyan) kalau Ki Ageng Pemanahan ingin mendapatkan wahyu tersebut harus segera pergi ke Giring.
Untuk mempercepat perjalanannya. Ki Ageng Pemanahan dilemparkan(dalam bahasa jawa "dikipatke") oleh Sunan Kalijaga dengan harapan agar jatuh di Giring , tetapi Ki Ageng Pemanahan jatuh di suati tuk Umbul lalu meloncat dan jatuh di Desa Mulusan. kemudian Ki Ageng Pemanahan meneruskan perjalanan ke Giring dengan harapan segera mendapatkan wahyu kraton, yang berada di rumah Ki Ageng Giring.
Karena perjalanan jauh dan di bawah terik matahari, Ki Ageng Pemanahan merasa haus dan secara kebetulan di rumah Ki Ageng Giring terdapat degan (kelapa muda ),maka tanpa menanti kedatangan Ki Ageng Giring yang pada saat itu sedang jamas di sungai, wahyu kraton yang di maksudkan Sunan Kalijaga tersebut juga berada pada kelapa muda itu dan bernama "Wahyu Poncopurbo". setelah Ki Ageng Giring pulang dari jamas , sangat terkejut karena kelapa muda yang sedianya diminum sehabis jamas telah habis diminum oleh Ki Ageng Pemanahan, dan terjadilah perselisihan pendapat namun akhirnya disadari oleh Ki Ageng Giring bahwa yang di takdirkan dapat menurunkan wahyu raja-raja adalah Ki Ageng Pemanahan.
Keduanya lalu bersepakat pergi menuju ke tempat Ki Ageng Butuh, dan dalam perjalanan terjadi dialog antara Ki Ageng Giring dengan Ki Ageng Pemanahan tentang wahyu yang dapat menurunkan raja-raja. Ki Ageng Giring menghendaki agar keturunan pertama beralih kepadanya, tetapi Ki Ageng Pemanahan tidak memberi jawaban, sampai pada keturunan ketujuh Ki Ageng Pemanahan baru berhenti. Sebagai peringatan terjadinya dialog mereka berdua, Ki Ageng Giring membuat prasasti berujud 7 (tujuh) buah batu nisan dibuat di Koripan (sebelah selatan Patuk Gunungkidul).
Selanjutnya apabila dihubungkan antara Ki Ageng Pemanahan yang memperoleh wahyu dapat menurunkan raja-raja di Jawa dengan eksistensi Kabupaten Gunungkidul, maka dalam sejarah telah menunjukan bukti-bukti bahwa yang mengangkat dan memberhentikan Bupati Gunungkidul adalah Raja Yogyakarta (dalam hal ini Ngarso Dalem Sampeyan Dalem Ingkang Sinuwun Kanjeng Sultan Ngayogyakarta). Raja-raja mataram dan Yogyakarta adalah keturunan dari Ki Ageng Pemanahan.